Buku ini secara garis besar membicarakan hubungan antara psikologi dan agama. Bagaimana terjadinya hubungan antara agama yang merupakan produk langit dan ilmu (psikologi dan filsafat) yang merupakan hasil karya cipta manusia. Bagian pertama dalam buku ini membahas mengenai makna agama secara psikologis, tentunya dengan menerangkan terlebih dahulu “apa itu agama ?” :
1. Definisi
2. Fenomena
3. Keragaman
4. Fungsi; dan
5. Substansi
Pada bagian ini, kita akan menemukan bahasan mengenai agama secara luas. Baik itu secara keragaman, terapan maupun agama dipandang dari segi keilmuan. Akan kita temukan fenomena-fenomena beragama yang dialami setiap orang dalam memaknai agamanya masing-masing yang tentunya berbeda-beda. Termasuk agama yang dimaknai oleh Penulis akan kita dapatkan pada bab-bab awal.
Kemudian pada pembahasan selanjutnya akan kita temukan pembahasan mengenai kesulitan mendefinisikan agama, dan dalam pembahasan itu memunculkan beberapa kata baru (dalam membahas agama) seperti :
1. Etnosentrisme: disini Penulis sebutkan “…orang sering mendefinisikan agama sesuai dengan pengalamannya dan penghayatannya pada agama yang dianutnya.”
2. Kompleksitas: yang menjadi masalah disini ialah “definisi” dari agama itu sendiri, “definisi” sangat terbatas pengertian dan penjelasannya, dan agama sangat-sangat tidak bisa dibatasi dalam hal apapun. Sehingga terjadi permasalahan definisi yang kompleks disini. Akibatnya, muncul definisi-definisi yang berbeda dari setiap orang dan dari waktu ke waktu definisi tersebut bertambah.
Setelah pembahasan-pembahasan diatas, akan kita temukan definisi agama dari perspektif psikologi. Dalam penjelasan ini ditemukan beberapa kata kunci : preferensi agama, afiliasi keagamaan, keterlibatan keagamaan, keimanan agama dan perilaku agama personal. Klima kata kunci inilah yang kemudian menjelaskan bagaimana psikologi mendefinisikan agama. Kemudian selanjutnya, isu-isu yang akan kita temukan ialah seputar agama : personal dan social. Agama Personal yang menelaah bagaimana agama dirasakan oleh masing-masing individu. Berkaitan dengan apa yang kita sendiri imani secara pribadi, bagaimana agama berfungsi dalam kehidupan pribadi kita, bagaimana pengaruh agama terhadap decicion making kita, dll. Agama social melihat pada kegiatan-kegiatan kelompok social keagamaan. Menurut penulis, ritual-ritual seperti acara asyura, peringatan hari-hari besar islam, peringatan natal, ngaben dan sebagainya muncul di wilayah ini. Pembicaraan selanjutnya bermuara pada fungsi agama dan substansi agama.
Kemudian, setelah jelas agama apa yang sedang dibahas dalam buku ini (yang sedang dibicarakan secara jelas agama seperti apa) poin penting yang kemudian dikupas Penulis ialah seputar masalah “apa itu psikologi ?”(sebagai ilmu pengetahuan, juga sebagai turunan filsafat):
a. Integrasinya dengan agama
b. Konflik
c. Independensi
Pada Permulaan bab ini, terlebih dahulu Penulis menguraikan masalah Agama dan Ilmu Pengetahuan. Bagaimana para ilmuwan sesungguhnya dalam kehidupannya selalu membicarakan (dan sesungguhnya mencari) Tuhan. Seperti Einstein, ia mengaku melihat ‘jejak-jejak’ Tuhan pada alam yang selalu ia perhatikan, Einstein selalu membicarakan Tuhan dengan temannya, Friederich Durrenmatt, sehingga ia selalu menganggap bahwa Einstein ialah seorang teolog tersembunyi.
Setelah itu barulah penulis membahas mengenai integrasi antara ilmu poengetahuan dan agama. Penulis menyebutnya sebagai Perkawinan Agung. Karena dalam hubungan ini terjadi begitu banyak keajaiban. Agama menyumbangkan ajarannya pada ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan menghadiahkan penemuannya untuk agama dan kemajuannya. Agama memberikan tongkat pada sains, agar ia tidak hanya berkutat pada pengamatan empiris. Sebaliknya, ilmu pengetahuan memberikan lampu agar agama melihat cahaya dalam kegelapan, agar tidak tenggelam dalam takhayul dan kepercayaan palsu.
Akan tetapi, penulis tidak hanya mendeskripsikan sisi manis saja antara singgungan agama dan ilmu pengetahuan ini. Ada juga Konflik. Bagaimana dahulu perkembangan ilmu pengetahuan sangat ditekan dan di pengaruhi oleh agama (para penganut) karena dianggap ilmu pengetahuan menyesatkan dan melawan kekuasaan gereja. Sehingga tragedy Galileo dan Bellarmine yang di hokum mati oleh pihak gereja karena penemuannya. Di kisah ini, bisa di bilang agama menang. Kemudian ada lagi kisah Huxley dan Wilburforce. Ini mengenai asala muasal manusia dari Kera. Huxley memperkuat penemuan Darwin dengan mengemukakan hal ini di public dengan dialog terbuka. Singkat cerita, Wilburforce yang menjadi lawan bicara Huxley kalah dan gereja di permalukan Huxley (seperti Galileo dahulu di permaukan gereja). Kali ini ilmu pengetahuan menang. Dalam beberapa tahun saja sudah terjadi dua konflik antara agama dan ilmu pengetahuan. Setelah itu ada beberapa konflik lagi yang terjadi (tidak saya tulis disini, terlalu banyak).
Pembahasan diatas sebenarnya belum cukup tepat menjelaskan telaah bab terkait, namun kita lanjutkan saja pada pembahsan selanjutnya yang tak kalah menarik, yaitu mengenai Penganut Independensi. Inilah yang kemudian mempercayai bahwa interaksi antara sains dan agama bisa hidup koeksistensi secara damai, dalam wilayahnya masing-masing. Para penganutnya percaya bahwa agama dan sains punya wilayah yuridiksi masing-masing, keduanya harus hidup bersanding, bukan bertanding. Sains tidak boleh memasuki wilayah agama, sebagaimana agama juga tidak boleh melakukan intervensi dalam wilayah sains. Sains memberikan kita kekuatan dan pencerahan, sedangkan keimanan memberikan cinta, harapan dan kehangatan. Sebenarnya, baik sains maupun keimanan memberikan kekuatan kepada kemanusiaan. Yang diberikan sains adalah kekuatan yang lepas, tetapi keimanan memberikan kekauatan yang kukuh.
Pembahasan-pembahsan diatas sebenarnya bisa kita simpulkan dengan kata “sejarah hubungan sains dan agama”. Sejarah itu dimulai dengan peristiwa pahit Galileo dan Copernicus, sebagai contoh menakutkan tentang gereja (sebagai symbol agama waktu itu) sebagai tokoh jahat yang merintangi kemajuan ilmiah. Namun beberapa abad kemudian, terjadilah perkawinan antara agama dan ilmu pengetahuan yang menghasilkan hubungan yang agung.
Hal berikutnya yang disinggung ialah mengenai Renaisans. Dikatakan bahwa sains merupakan kenangan renaisans. Renaisans hanyalah gerakan spontan dari teologi Abad Pertengahan menuju Humanisme, yang menandai kembalinya Paganisme dari periode Yunani klasik. Urat nadi humanismtik mengalir dalam seluruh tubuh renaisans dan dinyatakan dengan slogan “manusia dapat melakukan apapun yang ia inginkan”.
Bab berikutnya kemudian membahas anatara Psikologi dan Agama. Disini mulai memasuki hubungan anatara agama dan psikologi. Awalnya, hubungan ini dimulai dengan kontradiksi. Ini bisa kita lihat pada pandangan Freud mengenai agama. Menurut Freud, agama hanyalah ilusi, delusi dan proyeksi dari keinginan masa kanak-kanak. Namun disisi lain, ternyata pemahaman dan pemikiran Freud mengenai agama ini dibantah dan sebenarnya diputarbalikan oleh sahabat Freud sendiri, yaitu Pfister. Pfister adalah sahabat Freud, ia seorang pastor. Ia jugalah yang kemudian menjadi sahabat sejati Freud sampai akhir hayatnya. Tidak sepertri sahabat Freud yang lain yang selalu diakhiri dengan perpisahan karena perbedaan pemikiran. Pfister, walaupun sangat kontradiksi dengan Freud, tetapi ia tetap menjadi teman Freud. Sungguh persahabatan yang luar bisa antara seorang pastor dan seorang atheis.
Setelah membaca Freud, Pfister untuk pertama kalinya melihat hubungan antara manusia psikologis dan manusia spiritual, hubungan antara makna Psyche pada zaman dahulu dan zaman modern, penjajahan yang kemudian menjadi karya hidupnya sendiri. Di dalam ilmu psikoanalisis Freud yang baru, pfister kemudian menulis ‘Fungsi tertinggi kehidupan melangkah di hadapan mikroskop jiwa dan membuktikan asal-usul hubungannya, tentang hukum-hukum perkembangannya, tentang maknanya yang lebih dalam pada keseluruhan peristiwa psikis’. Sebagaimana Freud sangat yakin bahwa psikoanalisis adalah alat untuk membasmi agama dan takhayul lainnya, Pfister juga sangat yakin bahwa temannya itu telah menemukan kunci perkembangan ruhaniah. Kemudian yang terjadi ialah Freud mulai menolak argumentasi kawannya itu. Jelas sekali Freud tidak bisa membiarkan sama sekali kontradiksi yang dikemukakan oleh Pfister. Ia kemudian menulis manifesto anti agama , “ The future Of an Illusion” yang sebagian isinya ditunjukan untuk Pfister. Freud berharap buku itu bisa menjadi pukulan telak dalam perdebatannya dengan Pfister. Tetapi kemudian yang terjadi ialah sebaliknya, Pastor itu membaca buku itu dengan sangat gembira, membalasnya dengan sebuah artikel kecil yang diberi judul “The Illusion of a Future” dan tetap saja ia mempermalukan Freud dengan menyebutnya, “tidak pernah ada orang Kristen yang lebih baik dari dia”. Kemudian dari situ Pfister bertambah yakin bahwa Psikoanalisis sebenarnya melengkapi Alkitab. Mengapa demikian? Menurut Freud, Psikoanalisis sebenarnya adalah ‘Penyembuhan melalui cinta’. Bagi Freud, cinta tentu saja dipahami sebagai pelepasan libido. Bagi Pfister, ini hanya sekedar slogan, pandangan ilmuwan sempit yang dipaksakan. Psikoanalisis hanyalah alat; hidup lebih besar dari padanya, dan cinta adalah bahasa kehidupan. Freud mungkin saja ingin menjepitnya dengan teori dan ajaran-ajarannya, tetapi cinta akan meluap keluar dari sisi yang lain/. Karena sebenarnya, Freud telah menemukan salah satu ‘jalan rahasia bawah tanah’ -jalan cinta- Pfister merasa pantas menyebut kawannya yang atheis itu ebagai Kristen. Freud sendiri tidak pernah mengecewakan Pfister, tetapi pada waktu Pfister meninggal dunia tahun 1956, Ia pasti menyimpan kekecewaan karena impiannya untuk memperluas wawasan psikoanalisis ke dalam kehidupan spiritual semuanya telah sirna.
Sejarah interaksi anatara agama dan psikologi sudah diungkapkan dalam bentuk miniature oleh Freud dan sahabatnya Oskar Pfister. Freud mewakili psikologi yang memusuhi agama, karena sains sudah menjadi agama Freud, dan Pfister adalah pihak agama yang mencoba mengkawinkan ilmu pengetahuan dan agama. Pfister, menggunakan tenaga lawan (dalam hal ini Freud) untuk menampilkan jalan cinta. Ia menjadikan psikoanalisis –yang memusuhi agama- menjadi pendukung agama. Lebih dari satu abad, psikoanalisis Freud yang seksual berhasil menenggelamkan psikoanalisis Pfister yang spiritual. Lewat pertengahan millennium kedua, secara perlahan tetapi pasti, Pfister mulai muncul di permukaan. Pada tahun 1983, The American Psychiatric Association mulai memberikan hadiah tahunan Oskar Pfister Award kepada siapa saja yang memberikan “important contributions to the humanistic and spiritual side of psychiatric issues”. Dengan demikian, psikologi dan agama tidak lagi bertanding, tetapi bersanding. Deborah Van Duesen Husinger memberikan contoh integrasi antara psikoanalisis dan agama, yaitu mengenai Psikologi kedalaman (Depth Psychology). Dalam penerangannya itu, Ia menjelaskan bahwa para tokoh agama akan salah melakukan diagnosis, dan arena itu tidak dapat membantu ummatnya. Van Duesen Hunsinger memberikan contoh tentang perlunya agama menggandeng psikologi untuk “menyelamatkan” domba-dombanya yang tersesat. Disinilah kemudian tampak hubungan anatara psikologi dan agama. Walapun setelah itu ada beberapa konflik yang muncul yang mewarnai hubungan agama dan psikologi. Tetapi pada akhirnya (sampai sekarang), hubungan itu kemudian terbentuk semakin baik dan semakin saling menguntungkan psikologi dan agama. Terbukti, lahir aliran-aliran psikologi yang menggandeng unsure-unsur agama di dalamnya, seperti Psikologi Humanistik, Psikologi Eksistensialis dan Psikologi Transpersonal.
Bab selanjutnya yang dibahas dalam buku ini ternyata mengenai Psikologi versus Agama. Pembahasan pertama mengenai Psikologi Ateisme. Dimulai dengan tokoh ateis terbesar dunia, Nietzsche. Ia adalah ateis yang secara dramatis menolak agama kristen dan tuhan kristiani dengan ucapannya yang dikenal jutaan orang di dunia, “Tuhan sudah mati”. Ia sangat sibuk memikirkan agama sepanjang hidupnya dan berkali-kali secara terus menerus melecehkan gagasan kristen dan orang-orang yang mempercayainya. Para penulis biografi Netzsche yakin bahwa pemikiran Nietzsche sangat berkaitan dengan psikologinya yang aneh dan kompleks.
Nietzsche dilahirkan di sebuah desa kecil di Saxoni, Prusia (Jerman), 15 Oktober 1844. Ia anak seorang Pastor Lutheran. Dari pihak ayah ibunya, ada banyak pendeta. Salah seorang penulis biografinya ada yang mengatakan bahwa Nietzsche tidak bis berbicara sampai usia dua setengah tahun. “Sampai waktu itu ia mempunyai hubungan yang erat sekali dengan ayahnya yang bahkan mengizinkannya belajar pada waktu ia bekerja”. Ayah Nietzsche, pastor Ludwig Nietzsche, meninggal dunia pada 30 Juli 1849, dua bulan sebelum ulang tahun Nietzsche yang kelima. Pastor Ludwig sakit sejak setahun sebelumnya karena penyakit otak. Sebelum kematian dan sakitnya, ia kadang-kadang menderita apa yang tampaknya seperti kejang-kejang epileptik yang sangat dirisaukan istrinya yang masih muda. Nietzsche sering membicarakan secara positif ayahnya dan kematiannya sebagai kehilangan besar yang tak pernah ia lupakan. Pada masa remajanya, Nietzsche menulis kenang-kenangan masa kecilnya saat ia kehilangan ayahnya:
“Pagi itu, ketika aku bangun, aku mendengar tangisan disekitarku. Ibuku tersayang masuk dengan berurai air mata, menjerit, ‘Oh Tuhan, Ludwig sayang sudah mati’. Dalam keadaan masih muda dan lugu, hanya sedikit yang terlintas pada pikiranku tentang makna kematian. Karena terpaku oleh pikiran tentang perpisahan selama-lamanya dengan ayahku tercinta, aku menangis getir. Hari-hari berikutnya dipenuhi tangisan dan persiapan penguburan. Ya Tuhan, aku sudah menjadi yatim dan ibuku janda!! Pada 2 Agustus, jenazah ayahku dikebumikan. Upacara diiringi detingan lonceng. Duhai, aku akan terus mengingat bunyi dentingan lonceng itu di telingaku, dan aku takkan melupakan melodi sayu himne Jesu Meine Zuversicht (Yesus Imanku.”
0 komentar:
Post a Comment