27 April 2009

Allah itu Esa????


Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

Keberadaan Tuhan saat ini mungkin sudah tidak di pertanyakan lagi kebenarannya. Karena dari dahulu, sebelum manusia mempunyai peradaban, banyak sekali usaha-usaha pencarian Tuhan yang telah dilakukan. Ada yang menganggap bahwa batu-batu yang mereka ukir itu ialah tuhan atau wasilah (perantara) menuju Tuhan yang sesungguhnya. Ada lagi yang mengira kalau roti buatan tangannya itu adalah tuhannya. Ada juga yang mempercayai bahwa matahari, gunung, api dan atau segala sesuatu yang “lebih” dari mereka (manusia) adalah Tuhan. Malah, ada pula yang mengaku-ngaku bahwa dirinya ialah Tuhan.

Usaha semacam ini sebenarnya telah di gagas terlebih dahulu oleh Nabi Isa AS. Sebagai utusan sebelum Nabi Muhammad SAW, tugas Nabi Isa ialah membenarkan persepsi manusia terhadap Tuhannya, Tuhan yang sebenarnya, Allah SWT. Tetapi anehnya, setelah diturunkannya Nabi isa pun, masih banyak manusia yang salah memahami dan meyakini Tuhan yang sebenarnya. Maka kemudian Allah menurunkan Nabi terakhir, Nabi Muhammad SAW, sebagai Nabi penyempurna agama dan akhlaq. Nabi Muhammad dan nabi Isa menyebarkan ajaran islam yang agung yang juga tentunya mengenai Tuhan. Ajaran itu ialah seperti yang kita pahami saat ini.

Tetapi anehnya lagi, setelah beliau diutus pun, masih banyak sekali manusia yang mempunyai persepsi yang salah mengenai Tuhannya. Bahwa Tuhan itu ada tiga, lah!, bahwa Tuhan itu uang, lah!, bahwa tuhan itu sebenarnya tidak ada dan masih banyak lagi persepsi-persepsi keliru yang seharusnya kita luruskan.

Disini mungkin tidak akan kita bahas masalah pencarian Tuhan, akan tetapi lebih kepada pemahaman kita terhadap keberadaan tuhan dan sifat tuhan yang Esa. Di makalah ini juga dipertanyakan kembali kebenaran kita dalam memahami dan melaksanakan “Ketuhanan Yang maha Esa”. Apakah sudah benar-benar tertanam dalam diri kita bahwa “Tuhan itu Esa”?!

Dalam buku Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (KBI-BESAR) yang dimaksud Esa adalah tunggal, tidak ada yang menyamai. Dalam buku yang sama juga disebutkan bahwa tunggal berarti satu, hanya satu, tidak ada yang lainnya lagi. Sedangkan Tuhan ialah Yang Disembah, Yang Maha Esa. Jadi jelas bahwa Tuhan Yang Maha Esa ialah Tuhan yang hanya satu, tidak ada yang lainnya lagi. Dan tidak ada yang menyamai.

Kebenaran arti dan maksud kata-kata ini seharusnya benar juga dalam pelaksanaan dan pemahamannya di ummat kita. Sebenarnya tulisan ini dibuat untuk saling mengingatkan ummat kita sendiri, ummat islam. Karena pada dasarnya, dari yang saya lihat, ternyata pemahaman mengenai esa itu masih kabur dan tidak jelas. Karena jika kita mencoba menembus pemahaman ummat di luar kita, non muslim, mungkin akan sulit. Jadi lebih baik saya lebih menekankannya untuk ummat islam sendiri.

Ke-Esa-an Tuhan dalam islam sebenarnya sudah jelas. Terlihat dari quran surat al-ikhlas ayat satu sampai akhir, bahwa ummat islam mesti meyakini bahwa ke-Esa-an Allah SWT itu harus dipahami dengan baik dan benar dan melaksanakannya dengan benar pula.

Adapun kandungan secara ringkas dari surat al-ikhlas ialah sebagai berikut :

1. Pemberitaan dari Allah tentang Dzat-Nya, Sifat-sifat dan nama-nama-Nya, menetapkan kesempurnaan bagi Allah dan menghilangkan dari pada-Nya setiap kekurangan.

2. Memberitakan tentang sifat Allah sebagai tempat bergantung, berdiri sendiri dan berbeda dengan makhluknya.

3. Mencakup tauhid, akidah dan menetapkan Tauhid makrifat serta menolak :

a. Orang-orang Yahudi yang mengatakan bahwa Uzair itu putra Allah (Annisa)

b. Orang-Orang Nasrani yang mengatakan bahwa Al-Masih (Isa AS) adalah putra Allah

c. Orang-Orang Musyrik Arab yang mengatakan bahwa malaikat itu ialah putri-putri Allah

d. Kepada orang kafir tatkala mereka mengatakan kepada Nabi Muhammad : “Jelaskan kepada Kami tentang Tuhanmu itu!!”[1]

2. Makna Syahadatain (dua Kalimah Syahadat)

Kalimah syahadatain adalah kalimah yang tidak asing lagi bagi umat Islam. Kita senantiasa menyebutnya setiap hari, misalnya ketika shalat dan azan. Kalimah syahadatain sering diucapkan oleh umat Islam dalam pelbagai keadaan. Sememangnya kita menghafal kalimah syahadah dan dapat menyebutnya dengan fasih, namun demikian sejauh manakah berkesan kalimah syahadatain ini difahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari ummat Islam? Soalan tersebut perlu dijawab dengan realiti yang ada. Tingkah laku ummat Islam yang terpengaruh dengan jahiliyah atau cara hidup Barat yang memberi gambaran bahwa syahadah tidak memberi kesan lainnya seperti tidak menutup aurat, melakukan perkara-perkara larangan dan yang meninggalkan perintah-Nya, memberi kesetian dan taat bukan kepada Islam, dan mengingkari rezki atau tidak menerima sesuatu yang dikenakan kepada dirinya. Contoh ini adalah wujud dari seseorang yang tidak memahami syahadah yang dibacanya dan tidak mengerti makna yang sebenarnya di bawa oleh syahadah tersebut.

Kalimah syahadah merupakan asas utama dan landasan penting bagi rukun Islam. Tanpa syahadah maka rukun Islam lainnya akan runtuh begitupun dengan rukun iman. Tegaknya syahadah dalam kehidupan seorang individu maka akan menegakkan ibadah dan dien dalam hidup kita. Dengan syahadah maka wujud sikap ruhaniah yang akan memberikan motivasi kepada tingkah laku jasmaniah dan akal fikiran serta memotivasi kita untuk melaksanakan rukun Islam lainnya.

Menegakkan Islam maka mesti menegakkan rukun Islam terlebih dahulu, dan untuk tegaknya rukun Islam maka mesti tegak syahadah terlebih dahulu. Rasulullah SAW mengisyaratkan bahawa: Islam itu bagaikan sebuah bangunan. Untuk berdirinya bangunan Islam itu harus ditopang oleh 5 (lima) tiang pokok iaitu syahadatain, shalat, saum, zakat dan haji ke baitul haram. Dalam hadits yang lain: shalat sebagai salah satu rukun Islam merupakan tiangnya ad dien.

Di kalangan masyarakat Arab di zaman Nabi SAW, mereka memahami betul makna dari syahadatain ini, terbukti dalam suatu peristiwa di mana Nabi SAW mengumpulkan ketua-ketua Quraiys dari kalangan Bani Hasyim, Nabi SAW bersabda: Wahai saudara-saudara, mahukah kalian aku beri satu kalimat, di mana dengan kalimat itu kalian akan dapat menguasai seluruh jazirah Arab. Kemudian Abu Jahal terus menjawab: Jangankan satu kalimat, sepuluh kalimat berikan padaku. Kemudian Nabi SAW bersabda: Ucapkanlah Laa ilaha illa Allah dan Muhammadan Rasulullah. Abu Jahal pun terus jawab: Kalau itu yang kau mau, berarti engkau mengumandangkan peperangan dengan semua orang Arab dan bukan Arab.

Penolakan Abu Jahal kepada kalimah ini, bukan kerana dia tidak faham akan makna dari kalimat itu, tetapi justeru sebaliknya. Dia tidak mau menerima sikap yang mesti tunduk, taat dan patuh kepada Allah SWT sahaja, dengan sikap ini maka semua orang akan tidak tunduk lagi kepadanya. Abu Jahal ingin mendapatkan loyaliti dari kaum dan bangsanya. Penerimaan syahadah bermakna menerima semua aturan dan segala akibatnya. Penerimaan inilah yang sulit bagi kaum jahiliyah mengaplikasikan syahadah.

Sebenarnya apabila mereka memahami bahawa loyaliti kepada Allah itu juga akan menambah kekuatan kepada diri kita. Mereka yang beriman semakin dihormati dan semakin dihargai. Mereka yang memiliki kemampuan dan ilmu akan mendapatkan kedudukan yang sama apabila ia sebagai muslim. Abu Jahal adalah tokoh di kalangan Jahiliyah dan ia memiliki banyak potensi di antaranya ialah ahli hukum (Abu Amr). Setiap individu yang bersyahadah, maka ia menjadi khalifatullah fil Ardhi.

Kalimah syahadah mesti difahami dengan benar, kerana di dalamnya terdapat makna yang sangat tinggi. Dengan syahadah maka kehidupan kita akan dijamin bahagia di dunia ataupun di akhirat. Syahadah sebagai kunci dan tiang daripada dien. Oleh itu, marilah kita bersama memahami syahadatain ini.

Kalimat Laa ilaaha ilaLlah tidak mungkin difahami kecuali dengan memahami terlebih dahulu ma'na ilah yang berasal dari 'aliha' yang memiliki berbagai macam pengertian. Dengan memahaminya kita mesti mengetahui motif-motif manusia mengilahkan sesuatu. Ada empat makna utama dari aliha iaitu sakana ilahi, istijaaro bihi, asy syauqu ilaihi dan wull'a bihi. Aliha bermakna abaduhu (mengabdi/menyembahnya), kerana empat perasaan itu demikian mendalam dalam hatinya, maka dia rela dengan penuh kesedaran untuk menghambakan diri kepada ilah (sembahan) tersebut. Dalam hal ini ada tiga sikap yang mereka berikan terhadap ilahnya iaitu kamalul mahabah, kamalut tadzalul, dan kamalut khudu'. Al ilah dengan makrifat iaitu sembahan yang sejati hanyalah Allah sahaja, sedangkan selain Allah adalah bathil. Maka pengertian-pengertian ma'na ilah di atas hanyalah hak Allah sahaja, tidak boleh diberikan kepada selainNya. Dalam menjadikan Allah sebagai Al Illah terkandung empat pengertian iaitu al marghub, al mahbub, al matbu', dan al marhub. Al ma'bud merupakan sesuatu yang disembah secara mutlak. Kerana Allah adalah satu-satunya Al Ilah, tiada syarikat kepadaNya, maka Dia adalah satu-satunya yang disembah dan diabdi oleh seluruh kekuatan yang ada pada manusia. Pengakuan Allah sebagai Al Ma'bud dibuktikan dengan penerimaan Allah sebagai pemilik segala loyalti, pemilik ketaatan, dan pemilik hukum.

3. Dinamika Pemahaman “Tuhan Yang maha Esa”

Disetiap rutinitas aktifitas kita yang banyak sepanjang hari, sepertinya pemahaman Tuhan Yang maha Esa tidak lagi kita perhatikan. Sesungguhnya dengan sengaja atau tidak, kita telah mentuhankan segala sesuatu yang kita anggap penting. Kita lebih mendahulukan rapat, kuliah atau bahkan nonton tv/film daripada melaksanakan kewajiban kita pada-Nya. Kata Esa yang berarti tidak ada ‘yang lain’, menjadi pudar dan absurd. Kita malah mendahulukan aktifitas kita (sebagai sesuatu ‘yang lain’ itu), kita lebih mementingkan tidur kita, mengobrol dengan teman kita, lebih mementingkan kerja kita. Lalu posisi Tuhan ada dimana? Secara tidak sengaja sebenarnya kita telah berbuat syirik (naudzu billah), walaupun mungkin itu syirik kecil.

Sepertinya kita harus mulai memperbaiki konsep diri kita sendiri dengan konsep Tuhan Yang Maha Esa itu. Kita harus mulai menata hidup kita yang mulai jauh dari tuhan. Meng-esa-kan Tuhan berarti lebih mendahulukan, lebih mengutamakan atau lebih mementingkan tuhan daripada sesuatu yang lain. Tuhan menjadi prioritas kita dalam memandang tujuan hidup kita. Meng-Esa-kan Tuhan berarti lebih mencintai Tuhan, kita kesampingkan dulu cinta kita kepada makhluk lain, kita dahulukan cinta kita pada-Nya. Sebagai tanda cinta, kita seharusnya rela melakukan apapun demi Tuhan, kita akan rela mengorbankan apapun demi Tuhan, tanpa meminta balasannya (ketika cinta kita murni kepada Tuhan ) karena kekuatan besar dari cinta itu bersumber dari Tuhan.


[1] Muhammad Bin Abdul Wahab, BERSIHKAN TAUHID DARI DOSA SYIRIK, hal.16

0 komentar:

Theme images by andynwt. Powered by Blogger.

Blogger templates

 

© Kehidupan, All Rights Reserved
Design by Dzignine and Conceptual photography