29 April 2009

TAFAKUR, PSIKOLOGI ISLAM


Sebelum masuk pada pembahasan tafakur, mari kita perhatikan terlebih dahulu uraian berikut:

Kata dan makna “pikiran” pada dalam Al-Qur’an

Kata “pikir” dan “pakar” dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Arab fikr yang dalam Al-Qur’an menggunakan istilah fakkara dan tafakkarun. Kata fikr menurut Quraish Shihab diambil dari kata fark yang dalam bentuk faraka dapat berarti:

  1. mengorek sehingga apa yang dikorek itu muncul
  2. menumbuk sampai hancur, dan
  3. menyikat (pakaian) sehingga kotorannya hilang.

Baik kata fikr maupun kata fark memiliki makna yang serupa. Bedanya, fikr digunakan untuk hal-hal yang konkret. Larangan berpikir tentang Tuhan adalah sebuah contoh tentang objek fikr. Dari makna dasar fikr itu terkandung makna yang sangat dalam menyangkut usaha serius, giat, dan tak kenal lelah untuk mengelaborasi, atau bahkan mencari sampai pada bagian terdalam dari alam semesta, sehingga dapat ditemukan hakikat alam semesta itu sendiri. Para ahli yang meneliti materi-materi terkecil dari sesuatu sehingga didapatlah apa yang sekarang disebut atom, neutron, elektron, proton, dan quark adalah beberapa contohnya.

Salah satu bentuk berfikir adalah tafakur. Kata ini memiliki makna yang sangat mendalam. Salah satunya adalah bahwa tafakur merupakan cermin yang akan memperlihatkan kepada seseorang perihal kebaikan dan keburukannya. Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, tafakur merupakan kegiatan yang paling utama dan bermanfaat.[1]

Manusia diciptakan dengan kemampuan berpikir. Sesungguhnya berpikir adalah salah satu keistimewaan manusia bila dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah SWT yang lain. Menurut psikologi, Thinking is a inferring process” ( berpikir adalah proses menarik kesimpulan). Salah satu bentuk berfikir adalah tafakur. Kata ini memiliki makna yang sangat mendalam. Salah satunya adalah bahwa tafakur merupakan cermin yang akan memperlihatkan kepada seseorang perihal kebaikan dan keburukannya. Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, tafakur merupakan kegiatan yang paling utama dan bermanfaat.

Setiap manusia sesungguhnya pasti pernah berpikir atau bertafakur. Setiap malam menjelang tidur, otak kita selalu dihinggapi berbagai macam bentuk informasi dan perilaku yang telah kita dapatkan dan kita lakukan sepanjang hari. Berputar-putarlah otak kita mengenai perilaku kita, apa saja yang telah kita lakukan pada siang hari itu. “Berbuat dosa-kah aku?”, “Sudah berbuat baik-kah aku?” dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak (otak/pikiran) kita. Kita juga kadangkala berpikir / bertafakur mengenai alam ciptaan Allah yang begitu dahsyat ini.

Didalam islam, berpikir yang mendalam (tafakur) itu sangat dianjurkan sekali sebagai bentuk introspeksi diri kita. Bertafakur tentang ciptaan Allah SWT atau tentang perbuatan yang telah kita lakukan selama ini merupakan ibadah mulia yang diserukan Islam. Imam Al-Ghazali (dalam Badri 1989) menegaskan bahwa tafakur adalah menghadirkan dua macam pengetahuan di dalam hati untuk merangsang timbulnya pengetahuan yang ketiga. Berpikir (tafakur) menjadi nilai ibadah dalam islam, karena diharapkan ketika kita sudah bertafakur kita senantiasa bertambah keimanannya dan juga kecintaannya kepada Allah SWT.

Dalam psikologi, tafakur sering dikaitkan dengan aktifitas kognitif yaitu berpikir namun dalam bertafakur tidak hanya sebatas berpikir saja melainkan juga aktivitas afektif. Menurut Imam Al-Ghazali (dalam Badri,1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan berubah. Tafakur juga sebenarnya tidak hanya mengenai aspek kognitif saja. Ketika kita sedang merenung ( salah satu jalan tafakur ), aspek emosi (berupa sedih, takut, marah dan tunduk) pun ikut muncul. Juga aspek Estetika (dalam mengagumi ciptaan-ciptaan Allah) yang melibatkan afeksi kita juga.

Fase-Fase Tafakur :

1) Pengetahuan awal yang didapat dari persepsi empiris langsung yaitu melalui alat pendengaran, alat raba, atau alat indera lainnya. Dalam bahasa yang disempurnbakan oleh tuannya. (kognitif)

2) Tadlawuk artinya pengungkapan rasa kekaguman terhadap ciptaan atau susunan alam yang indah dari apa yang dilihat atau didengar. (Estetika)

3) Penghubung antara perasaan kekaguman akan keindahan dengan pencipta yang Maha Agung

4) Syuhud artinya seseorang yang bertafakur, hatinya terbuka untuk menyaksikan keagungan Allah dan dia bersaksi bahwa Dialah yang memberi segala kebaikan. Pada fase ini setiapkali pandangan tertuju pada makhluk Allah, yang dilihatnya adalah pencipta-Nya dan segala sifat keagungan-Nya. (emosi)

Jika seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi-sisi keindahan, kekuatan, dan keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan yang inderawi menuju rasa kekaguman (tadlawuk) di mana pada fase ini adalah fase bergejolaknya perasaan. Kalau dengan perasaan ia berpindah menuju sang pencipta dengan penuh kekhusyukan sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, berarti ia sudah berada pada fase ketiga. Untuk menuju fase selanjutnya seseorang harus membiasakan dalam bertafakur sehingga seseorang tersebut melihat semua yang ada di sekitarnya menjadi motivasi berfikir dan bertafakur yang pada akhirnya akan melahirkan sikap perasaan keagungan akan Tuhan.

Kualitas Tafakur ditentukan oleh :

1. Kedalaman iman

Semakin tinggi keimanan seseorang, maka semakin kuat pula kualitas cintanya kepada Allah. Semakin besar cinta seseorang, maka semakin seringlah orang itu mengingat “Sesuatu” yang dicintainya itu. Ketika Manusia yang besar cintanya pada Allah bertafakur, maka kualitas tafakurnya akan berbeda dengan orang yang hanya mengingat Allah sewaktu-waktu saja. Ia akan lebih mendalami, mengeksplorasi dan menghayati tafakurnya. Tetapi tulisan ini bukan bermaksud mengatakan bahwa orang yang tidak beriman tidak bisa bertafakur mengenai Allah, ciptaan-Nya, hamba-Nya dan segala sesuatu yang berasal dari-Nya.

2. Kemampuan memusatkan pikiran

Manusia dengan aspek kognisinya yang tinggi, dalam mengingat maupun dalam menyelami hal-hal yang telah dilaluinya, akan lebih mudah berpikir / bertafakur dibanding dengan orang yang kurang mampu memusatkan pikirannya. Orang dengan aspek kognisi yang baik, akan lebih mudah memusatkan pikirannya pada apa yang sedang dipikirkannya. Ia jauh lebih serius dan khusuk.

3. Kondisi emosional dan rasional

Keadaan emosi yang stabil, akan lebih mudah diarahkan atau dipusatkan pada suatu tindakan yang akan dilakukan. Terlebih jika kondisi emosionalnya itu bagus. Secara sadar ia akan melakukan tindakannya itu, tidak terpengaruh oleh pikiran yang kacau.

4. Faktor lingkungan

Lingkungan yang tenang, damai, bersih, indah dan nyaman akan mendukung sekali aktifitas tafakur seseorang.

5. Bimbingan

Menurut Imam Al-Jauziah cahaya atau nur akan melimpah dari seorang yang jiwanya berkualitas, baik dengan berguru kepadanya atau sekedar bergaul dengannya. Bimbingan dalam tafakur ini sangat diperlukan. Apalagi jika seorang yang hendak bertafakur baru pertama kali melakukannya. Agar tindakan tafakur yang dilakukannya benar, maka bimbingan sangat diperlukan. Juga agar tafakur yang dilakukannya tidak keliru atau salah langkah, sehingga menyebabkan kesalahan berrpikir yang akibatnya sangat fatal. Salah satu tafakur yang salah menurut penulis ialah tafakurnya ahmad mushaddeq. Ia bertafakur tanpa pembibing yang jelas. Sehingga ia menafsirkan hasil berpikirnya itu seenak perutnya saja!!!.

6. Objek tafakur

Dalam memilih objek tafakur sebaiknya memilih objek yang mampu diolah oleh kemampuan kognitifnya, semakin abstrak objeknya maka semakin sulit pula untuk mendapatkan manfaat dari tafakur tersebut.

Jika kita perhatikan lagi, ternyata tafakur ini bisa kita kategorikan kedalam ranah psikologi transpersonal. Maslow dan antony sathic mengemukakan psikologi transpersonal memasuki ranah yang lebih luas dari human existence, yang di dalamnya terdapat antara lain:

Nilai

Kesatuan kesadaran

Kegembiraan

Mistis

Rahmat

Transendensi

Kesadaran kosmis

Jika penulis pikirkan, ternyata tafakur itu memiliki poin-poin penting yang tidak jauh berbeda dengan poin-poin psikologi transpersonal diatas. Tafakur memiliki nilai, kesatuan kesadaran, transendensi bahkan kegembiraan dan rahmat.

Batasan-batasan tafakur dalam islam :

1. Tafakur boleh dilakukan selama itu tidak membawa madlorot bagi pelakunya (belajar dari banyaknya aliran-aliran sesat yang muncul saat ini)

2. Tidak boleh bertafakur mengenai Dzat / bentuk / jisim Allah (diambil dari hadist)

3. Bertafakur hendaknya menjadikan kita semakin yakin pada Allah, bukan malah menjadikan kita sanksi akan kekuasaan Allah SWT.

Daftar Pustaka

Badri, Malik. 1989. Tafakur : Perspektif Psikologi Islami (terjemahan). Bandung : Rosdakarya

An-Najar. 2001. Ilmu Jiwa dalam Tasawuf (terjemahan). Jakarta : Pustaka Azzam

Saleh, Abdul Rahman. 2005. Psikologi Suatu Pengantar Dalam Prespektif Islam. Jakarta : Kencana Media Group

http://wimpermana.web.ugm.ac.id/blog


[1] “Akal” dan “Pikiran” dalam Khasanah Filsafat dan Budaya
Orang-Orang Timur (Baca: Budha dan Islam), oleh Soeprano Effendi dan Wim Permana
wimkhan@yahoo.com
http://wimpermana.web.ugm.ac.id/blog

1 komentar:

Unknown says:
at: April 3, 2014 at 12:34 PM said...

Assalamualai'kum.. mohon izin untuk di copy karena posting ini sangat saya butuhkan untuk menambah ilmu dan wawasan, terima kasih

Theme images by andynwt. Powered by Blogger.

Blogger templates

 

© Kehidupan, All Rights Reserved
Design by Dzignine and Conceptual photography